Catatan Agus Pambagio: Kelangkaan Obat di Balik Layar BPJS Kesehatan

Penulis : humas Dibaca : 16608 Kategori : Berita Umum
Tanggal Posting : 04 May 2014 23:23:42

(Dikutip dari Detikcom)

Jakarta - Di tengah kemajuan teknologi dan ledakan penduduk karena gagalnya Program Keluarga Berencana (KB), membuat akses manusia terhadap infrastruktur, energi, pangan dan air menjadi terbatas. Kondisi tersebut berdampak pada tingginya tingkat stres masyarakat Indonesia. Stres dapat menimbulkan gangguan kesehatan yang membutuhkan biaya tidak sedikit.

Gangguan kesehatan akan semakin membebani keuangan keluarga, khususnya kalangan menengah ke bawah, yang tidak mempunyai jaminan pelayanan kesehatan. Bagi yang mampu bisa menggunakan jasa asuransi kesehatan swasta atau bagi pegawai swasta/PNS/BUMN/TNI-POLRI dijamin oleh perusahaan asuransi swasta atau jaminan kesehatan dari ASKES atau Jamsostek.

Lalu siapa yang menjamin pelayanan kesehatan sebagian masyarakat yang tidak mempunyai jaminan kesehatan? Berlatar belakang kondisi tersebut maka pada akhirnya Pemerintah menerbitkan UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan UU No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang mengatur pemberian jaminan kesehatan terhadap seluruh rakyat Indonesia. Meskipun terlambat namun upaya Pemerintah ini harus diapresiasi.

Jaminan kesehatan yang diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan (d/h ASKES) merupakan program baru yang masih sarat masalah bagi para pemangku kepentingan. Perubahan sistem mengakibatkan kebingungan bagi pemberi pelayanan kesehatan, industri obat, otoritas kesehatan dan koordinasi di tingkat pusat dan daerah. Jika tidak segera diantisipasi dengan cerdas dapat berdampak negatif bagi pelaksanaan program BPJS Kesehatan ke depan.

Dari banyak permasalahan, persoalan pelayanan perawatan termasuk ketersediaan obat dan ketersediaan ruang rawat inap masih menjadi persoalan utama, selain masalah kepesertaan dan lain-lain. Untuk itu mari kita bahas hanya persoalan pelayanan perawatan saja dulu yang sampai saat ini belum teratasi karena mbulet atau kusutnya birokrasi. Persoalan lainnya akan dibahas di lain waktu.


Persoalan Kualitas Pelayanan Perawatan

Sebelum berubah menjadi BPJS Kesehatan pada tanggal 1 Januari 2014, PT ASKES selama 26 tahun untuk pengadaan obat-obatan menggunakan sistem Daftar Plafon Harga Obat (DPHO). Proses ini melalui sebuah sistem yang sudah baku dan dipahami oleh RS, industri dan distributor obat di seluruh Indonesia selama ini.

Pada proses DPHO, masukkan dari seluruh RS yang menjadi rekanan PT ASKES tentang kebutuhan obat untuk berbagai jenis penyakit sudah harus dikirimkan ke PT ASKES pada bulan Januari - Februari tahun berjalan. Kemudian pada bulan Maret - Mei, PT ASKES mengundang tim ahli independen dari Perguruan Tinggi untuk memeriksa keabsahan dari daftar obat yang disampaikan.

Sekitar bulan Juni - Agustus tahun berjalan, PT ASKES memanggil semua pabrik dan distributor obat yang berminat menyediakan obat-obatan untuk menjelaskan kebutuhan masing-masing RS/Puskesmas di tingkat Provinsi/Kabupaten/Kota seluruh Indonesia. Kemudian PT ASKES pada bulan November-Desember sudah harus mencetak dan mendistribusikan katalog ke semua pemangku kepentingan.

Dengan sistem DPHO dapat dipastikan sangat kecil kemungkinannya terjadi kelangkaan obat, karena kalau langka tinggal menghubungi distributornya saja. Jika pabrik dan distributor tidak dapat memenuhi permintan obat maka akan ada sanksi, seperti selama 3 tahun berturut-turut produknya tidak akan dimasukan dalam DPHO. Dengan demikian PT ASKES hampir tidak pernah mengalami kelangkaan obat-obatan selama ini. Pertanyaannya mengapa sekarang BPJS Kesehatan sering bermasalah dengan ketersediaan obat?

Setelah ditelusuri di lapangan selama hampir 2 bulan terakhir, permasalahan kelangkaan obat-obatan hampir di hampir semua Rumah Sakit (RS)/Klinik/Puskesmas mitra BPJS Kesehatan karena sejak beralih dari PT ASKES ke BPJS Kesehatan, pengadaan obat dilakukan melalui e-katalog yang sama sekali berbeda dengan sistem DPHO.

Saat ini dengan BPJS Kesehatan proses pengadan/pembelian obat diambil alih oleh Kementrian Kesehatan (Kemenkes) melalui sistem elektronik katalog atau e-katalog berdasarkan Pasal 131 ayat (1) Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadan Barang/Jasa Pemerintah, Peraturan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) No. 2 Tahun 2010 tentang Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE), Perturan Kepala LKPP No. 1 Tahun 2011 tentang E-Tendering, Peraturan Kepala LKPP No. 5 Tahun 2011 tentang Standar Dokumen Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Secara Elektronik serta UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Dari sisi jenis obat, melalui e-katalog hanya dapat dijaring 200 jenis obat sementara dengan sistem DPHO bisa mencakup 600 jenis obat. Dari sisi harga obat, melalui sistem DPHO harga obat bisa ditekan hingga 50% karena volume pemesanannya besar dan mencakup seluruh Indonesia. Dengan e-katalog, jika RS kekurangan obat maka mereka harus membeli sendiri.

Sementara banyak RS (terutama RS kecil) yang tidak mempunyai cukup dana dan pengalaman membeli obat melalui e-katalog. Selain itu, jarang ada pabrik obat yang mau melayani pembelian obat oleh RS dalam jumlah sedikit dan mendadak. Ini yang menyebabkan banyak RS saat ini sering kekurangan atau kehabisan obat sejak BPJS Kesehatan beroperasi.


Langkah Perbaikan yang Harus Dikerjakan

Saat ini pelaksanaan e-katalog untuk obat-obatan dilakukan oleh Kemenkes. Melalui e-katalog. Obat dipilih berdasarkan harga terendah dari penawaran dan negosiasi dengan pabrik obat.

Di program pelaksanaan BPJS Kesehatan, sebaiknya Kemenkes tidak ikut campur dalam pelaksanaan di lapangan termasuk pada proses pengadaan e-katalog obat-obatan dll. Biarkan BPJS melakukan semua dan Kemenkes hanya sebagai regulator yang berfungsi mengawasi, mengatur dan memberikan sanksi jika BPJS Kesehatan melakukan pelanggaran.

Keterlibatan Kemenkes dalam mekanisme BPJS Kesehatan saat ini tampaknya hanya memperpanjang rantai birokrasi dan menghambat ketersediaan obat di sejumlah sarana pelayanan kesehatan. Campur tangan ini juga rawan manipulasi.

Penggunaan e-katalog di sistem BPJS Kesehatan baik, namun karena masih terdapat banyak kekurangan perlu kiranya segera diperbaiki atau dilengkapi supaya dikemudian hari tidak bermasalah, termasuk membangun sistem kontrol pelaksanaan e-katalog. Sebagai contoh, bagaimana jika pabrik dan distributor obat tidak mengirimkan obat sesuai dengan jumlah dan lokasi yang ada? Apa sanksinya?

Di sistem DPHO sanksinya jelas. Sebagai penutup lakukan terus pengembangan di e-katalog supaya sistem pengawasan dan sanksi mirip dengan yang diterapkan pada sistem DPHO.

*) Agus Pambagio adalah Pemerhati Kebijakan Publik dan Perlindungan Konsumen


File :