(Dikutip dari Detikcom)
Jakarta - Di tengah
kemajuan teknologi dan ledakan penduduk karena gagalnya Program Keluarga
Berencana (KB), membuat akses manusia terhadap infrastruktur, energi,
pangan dan air menjadi terbatas. Kondisi tersebut berdampak pada
tingginya tingkat stres masyarakat Indonesia. Stres dapat menimbulkan
gangguan kesehatan yang membutuhkan biaya tidak sedikit.
Gangguan kesehatan akan semakin membebani keuangan keluarga, khususnya
kalangan menengah ke bawah, yang tidak mempunyai jaminan pelayanan
kesehatan. Bagi yang mampu bisa menggunakan jasa asuransi kesehatan
swasta atau bagi pegawai swasta/PNS/BUMN/TNI-POLRI dijamin oleh
perusahaan asuransi swasta atau jaminan kesehatan dari ASKES atau
Jamsostek.
Lalu siapa yang menjamin pelayanan kesehatan sebagian masyarakat yang
tidak mempunyai jaminan kesehatan? Berlatar belakang kondisi tersebut
maka pada akhirnya Pemerintah menerbitkan UU No. 40 Tahun 2004 tentang
Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan UU No. 24 Tahun 2011 tentang
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang mengatur pemberian
jaminan kesehatan terhadap seluruh rakyat Indonesia. Meskipun terlambat
namun upaya Pemerintah ini harus diapresiasi.
Jaminan kesehatan yang diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan (d/h ASKES)
merupakan program baru yang masih sarat masalah bagi para pemangku
kepentingan. Perubahan sistem mengakibatkan kebingungan bagi pemberi
pelayanan kesehatan, industri obat, otoritas kesehatan dan koordinasi di
tingkat pusat dan daerah. Jika tidak segera diantisipasi dengan cerdas
dapat berdampak negatif bagi pelaksanaan program BPJS Kesehatan ke
depan.
Dari banyak permasalahan, persoalan pelayanan perawatan termasuk
ketersediaan obat dan ketersediaan ruang rawat inap masih menjadi
persoalan utama, selain masalah kepesertaan dan lain-lain. Untuk itu
mari kita bahas hanya persoalan pelayanan perawatan saja dulu yang
sampai saat ini belum teratasi karena mbulet atau kusutnya birokrasi.
Persoalan lainnya akan dibahas di lain waktu.
Persoalan Kualitas Pelayanan Perawatan
Sebelum berubah menjadi BPJS Kesehatan pada tanggal 1 Januari 2014, PT
ASKES selama 26 tahun untuk pengadaan obat-obatan menggunakan sistem
Daftar Plafon Harga Obat (DPHO). Proses ini melalui sebuah sistem yang
sudah baku dan dipahami oleh RS, industri dan distributor obat di
seluruh Indonesia selama ini.
Pada proses DPHO, masukkan dari seluruh RS yang menjadi rekanan PT ASKES
tentang kebutuhan obat untuk berbagai jenis penyakit sudah harus
dikirimkan ke PT ASKES pada bulan Januari - Februari tahun berjalan.
Kemudian pada bulan Maret - Mei, PT ASKES mengundang tim ahli independen
dari Perguruan Tinggi untuk memeriksa keabsahan dari daftar obat yang
disampaikan.
Sekitar bulan Juni - Agustus tahun berjalan, PT ASKES memanggil semua
pabrik dan distributor obat yang berminat menyediakan obat-obatan untuk
menjelaskan kebutuhan masing-masing RS/Puskesmas di tingkat
Provinsi/Kabupaten/Kota seluruh Indonesia. Kemudian PT ASKES pada bulan
November-Desember sudah harus mencetak dan mendistribusikan katalog ke
semua pemangku kepentingan.
Dengan sistem DPHO dapat dipastikan sangat kecil kemungkinannya terjadi
kelangkaan obat, karena kalau langka tinggal menghubungi distributornya
saja. Jika pabrik dan distributor tidak dapat memenuhi permintan obat
maka akan ada sanksi, seperti selama 3 tahun berturut-turut produknya
tidak akan dimasukan dalam DPHO. Dengan demikian PT ASKES hampir tidak
pernah mengalami kelangkaan obat-obatan selama ini. Pertanyaannya
mengapa sekarang BPJS Kesehatan sering bermasalah dengan ketersediaan
obat?
Setelah ditelusuri di lapangan selama hampir 2 bulan terakhir,
permasalahan kelangkaan obat-obatan hampir di hampir semua Rumah Sakit
(RS)/Klinik/Puskesmas mitra BPJS Kesehatan karena sejak beralih dari PT
ASKES ke BPJS Kesehatan, pengadaan obat dilakukan melalui e-katalog yang
sama sekali berbeda dengan sistem DPHO.
Saat ini dengan BPJS Kesehatan proses pengadan/pembelian obat diambil
alih oleh Kementrian Kesehatan (Kemenkes) melalui sistem elektronik
katalog atau e-katalog berdasarkan Pasal 131 ayat (1) Peraturan Presiden
No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadan Barang/Jasa Pemerintah, Peraturan
Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) No. 2
Tahun 2010 tentang Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE), Perturan
Kepala LKPP No. 1 Tahun 2011 tentang E-Tendering, Peraturan Kepala LKPP
No. 5 Tahun 2011 tentang Standar Dokumen Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah Secara Elektronik serta UU No. 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik.
Dari sisi jenis obat, melalui e-katalog hanya dapat dijaring 200 jenis
obat sementara dengan sistem DPHO bisa mencakup 600 jenis obat. Dari
sisi harga obat, melalui sistem DPHO harga obat bisa ditekan hingga 50%
karena volume pemesanannya besar dan mencakup seluruh Indonesia. Dengan
e-katalog, jika RS kekurangan obat maka mereka harus membeli sendiri.
Sementara banyak RS (terutama RS kecil) yang tidak mempunyai cukup dana
dan pengalaman membeli obat melalui e-katalog. Selain itu, jarang ada
pabrik obat yang mau melayani pembelian obat oleh RS dalam jumlah
sedikit dan mendadak. Ini yang menyebabkan banyak RS saat ini sering
kekurangan atau kehabisan obat sejak BPJS Kesehatan beroperasi.
Langkah Perbaikan yang Harus Dikerjakan
Saat ini pelaksanaan e-katalog untuk obat-obatan dilakukan oleh
Kemenkes. Melalui e-katalog. Obat dipilih berdasarkan harga terendah
dari penawaran dan negosiasi dengan pabrik obat.
Di program pelaksanaan BPJS Kesehatan, sebaiknya Kemenkes tidak ikut
campur dalam pelaksanaan di lapangan termasuk pada proses pengadaan
e-katalog obat-obatan dll. Biarkan BPJS melakukan semua dan Kemenkes
hanya sebagai regulator yang berfungsi mengawasi, mengatur dan
memberikan sanksi jika BPJS Kesehatan melakukan pelanggaran.
Keterlibatan Kemenkes dalam mekanisme BPJS Kesehatan saat ini tampaknya
hanya memperpanjang rantai birokrasi dan menghambat ketersediaan obat di
sejumlah sarana pelayanan kesehatan. Campur tangan ini juga rawan
manipulasi.
Penggunaan e-katalog di sistem BPJS Kesehatan baik, namun karena masih
terdapat banyak kekurangan perlu kiranya segera diperbaiki atau
dilengkapi supaya dikemudian hari tidak bermasalah, termasuk membangun
sistem kontrol pelaksanaan e-katalog. Sebagai contoh, bagaimana jika
pabrik dan distributor obat tidak mengirimkan obat sesuai dengan jumlah
dan lokasi yang ada? Apa sanksinya?
Di sistem DPHO sanksinya jelas. Sebagai penutup lakukan terus
pengembangan di e-katalog supaya sistem pengawasan dan sanksi mirip
dengan yang diterapkan pada sistem DPHO.
*) Agus Pambagio adalah Pemerhati Kebijakan Publik dan Perlindungan Konsumen